DIGITAL LIBRARY
Ketika orang membicarakan mengenai ‘digital library’ sebetulnya ada bermacam-macam pengertian atau
definisi yang ada di benak masing-masing orang. Bahkan kecenderungannya mereka
akan mendefinisikan sesuai dengan konsep dasar pemikiran, latar belakang atau
bidang keilmuan mereka masing-masing. Hal ini tentu membingungkan kita untuk
memahami apa sebenarnya ‘digital library’
itu. Menurut Cleveland (1998)
setidaknya ada 3 faktor yang menyebabkan kebingungan dalam memahami istilah ‘digital library ‘ ini:
1.
Adanya perbedaan penggunaan
istilah oleh komunitas perpustakaan dalam memahami konsep ini seperti electronic library, virtual library, library without walls—dan
tidak pernah ada kejelasan perbedaan makna dari istilah-istilah tersebut.
Istilah ‘Digital Library’ sendiri
secara sederhana merupakan paling baru dan secara luas digunakan secara
ekslusif pada konferensi, online dan dalam literatur-literatur.
2.
‘Digital libraries’ merupakan fokus perhatian dari banyak bidang
area riset yang berbeda, dan pemahaman ‘digital
library’ tergantung pada masing-masing komunitas riset yang
menggambarkannya. Contohnya: (a) dari segi pandang temu kembali informasi, itu
merupakan sebuah database yang besar, (b) bagi orang yang bekerja di hypertext technology, itu merupakan satu
aplikasi khusus metode hypertext, (c) dan bagi ilmu perpustakaan, itu merupakan
langkah lain dalam meneruskan otomasi perpustakaan yang dimulai lebih dari 25
tahun yang lalu.
3.
Hal ketiga yang meningkatkan
kebingungan adalah adanya fakta bahwa banyak hal di internet yang oleh orang
disebut ‘digital libraries’ dimana
–dari sudut pandang pustakawan—bukan. Contohnya: (a) bagi ilmuwan bidang
komputer dan pengembang perangkat lunak,
kumpulan algoritma komputer dan program perangkat lunak adalah ‘digital libraries’, (b) bagi perusahaan
besar, ‘digital library’ adalah sistem manajemen dokumen yang
mengontrol dokumen bisnis mereka dalam format elektronik.
Bahkan
satu contoh yang cukup spektakuler adalah apa yang banyak orang anggap ‘digital library’ adalah World Wide Web. Web mengumpulkan ribuan
dokumen. Banyak yang akan menyebut kumpulan ini sebuah ‘digital library’ karena mereka dapat menemukan informasi, seperti
yang dapat mereka lakukan untuk melakukan transaksi bank dalam sebuah ‘digital
bank’ atau membeli CD/DVD dalam sebuah ‘digital
record store’. Apakah web belum dapat disebut sebagai sebuah ‘digital
library?’ Clifford Lynch (1997) dalam
Cleveland (1998) menyatakan:
“One sometimes hears the Internet characterized as
the world’s library for the digital age. This description does not stand up
under even casual examination. The Internet—and particularly its collection of
multimedia resources known as the World Wide Web—was not designed to support
organized publication and retrievalof information as libraries are. It has
evolved into what might be thought of as a chaotic repository for the
collective output of the world’s digital ‘printing presses’. … In short, the
Net is not a digital library.”
Dari
pernyataan Lynch tersebut dapat
dilihat bahwa ‘digital library’ bukan
sekedar Internet atau akses ke dalam sumber Web.
Cleveland (1998)
dalam Occasional Paper IFLA nomor 8,
bulan Maret 1998 menyatakan bahwa untuk memahami ‘digital library’ dari sudut pustakawan maka sebagai titik awalnya
kita harus mengasumsikan bahwa ‘digital
libraries’ adalah perpustakaan dengan maksud, fungsi, dan tujuan yang sama
seperti perpustakaan tradisional—yakni manajemen dan pengembangan koleksi,
analisa subjek, pembuatan indeks, ketersedian akses, sisi referensinya, dan
preservasinya.
Berangkat dari pemikiran tersebut ada beberapa karakteristik
yang dapat dilihat berdasarkan berbagai diskusi yang telah dilakukan seputar ‘digital library’ ini, seperti yang sudah
dirangkum oleh Cleveland (1998)
yakni:
- Digital libraries are the digital face of traditional libraries that include both digital collections and traditional, fixed media collections. So they encompass both electronic and paper materials
- Digital libraries will also include digital materials that exist outside the physical and administrative bounds of any one digital library
- Digital libraries ideally provide a coherent view of all of the information contained within a library, no matter its form or format
- Digital libraries will serve particular communities or constituencies, as traditional libraries do now, though those communities may be widely dispersed throughout the network
- Digital libraries will require both the skills of librarians and well as those computer scientists to be viable.
Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa ‘digital library’ bukan
sesuatu yang berdiri sendiri, tapi merupakan sebuah sistem. Definisi yang cukup
menggambarkan berbagai karakteristik tersebut dapat dilihat dari apa yang
dihasilkan dari Dlib Working Group on
Digital Library Metrics (WG) di Stanford
University, 7-8 Januari 1998, yakni:
“The Digital Library is the collection of
services and the collection of information objects that support users in
dealing with information objects and the organization and presentation of those
objects available directly or indirectly via electronic/digital means.”
Beberapa
usaha yang mungkin dapat ditempuh dalam rangka menuju sistem ‘digital
library’ adalah sebagai berikut:
a.
Pengembangan Sistem Otomasi
Perpustakaan
Mengapa sistem otomasi perpustakaan dapat menjadi
bagian dari ‘digital library’? Karena melalui sistem otomasi ini sedapat
mungkin perpustakaan dapat menampilkan sebuah sistem layanan yang berbasis
elektronis yang memungkinkan berbagai macam kemudahan dalam pengelolaan objek
informasi. Otomasi perpustakaan ini akan berguna bagi seluruh pengguna
perpustakaan seperti pustakawan, manajemen, dan juga pengguna. Berbagai
transaksi dan laporan akan ditampilkan secara elektronis/digital melalui sistem
otomasi ini. Rekaman transaksi dan laporan kegiatan layanan perpustakaan yang
terekam secara elektronis merupakan satu objek informasi penting dapat
disediakan oleh perpustakaan. Untuk itu pengembangan sistem otomasi
perpustakaan harus dapat menampilkan berbagai macam informasi tidak hanya
metadata seperti katalog atau indeks, tetapi juga harus dapat menampilkan
berbagai rekaman kegiatan perpustakaan diantaranya transaksi sirkulasi, rekaman
keanggotaan, data statistik, rekaman koleksi dan lain sebagainya.
b.
Pengembangan Sistem
Informasi Online
Hal
lain yang dapat dilakukan dalam rangka menerapkan konsep ‘digital library’
adalah adanya sebuah sistem informasi online. Hal ini dapat diwujudkan dengan
menciptakan sebuah sistem berbasis jaringan baik untuk keperluan intranet
dan/atau Local Area Network (LAN) maupun internet dan/atau Wide Area Network
(WAN). Saat ini yang paling mudah dan banyak dilakukan adalah menggunakan
fasilitas World Wide Web (Web). Melalui Web perpustakaan
dapat membangun sebuah sistem informasi online yang menyediakan objek informasi
seperti katalog, indeks, arsip, hasil posting newsgroup, koleksi email, sumber
komersial, sumber hiburan, artikel personal, hingga layanan perpustakaan
(daftar pertanyaan referensi, analisis statistik, pustakawan online, asisten
online, dan sebagainya). Selain itu melalui sistem informasi online,
perpustakaan dapat menyediakan berbagai koleksi digital yang dimilikinya baik
yang dibeli, dilanggan, maupun yang didapat secara gratis.
c. Pengembangan koleksi
digital
Tahap selanjutnya yang perlu dilakukan dalam menerapkan ‘digital
library’ adalah membangun koleksi digital. Membangun koleksi digital
menurut Cleveland (1998) dapat dilakukan dengan tiga metode penting yakni; digitasi,
pengadaan karya digital asli, dan akses ke dalam sumber-sumber eksternal.
Digitasi merupakan proses konversi koleksi berbentuk cetak, analog atau media
lain --- seperti buku, artikel jurnal, foto, lukisan, bentuk mikro--- ke dalam
bentuk elektronik atau digital melalui proses scanning, sampling, atau re-keying. Pengadaan karya digital asli disini maksudnya
adalah mengadakan baik melalui metode membeli atau berlangganan karya digital
asli dari penerbit atau peneliti dalam bentuk misalnya jurnal elektronik
(e-journal), buku elektronik (e-books), dan database online (seperti Ebsco,
Proquest, ScienceDirect, dll). Sedangkan akses ke dalam sumber eksternal disini
maksudnya adalah perpustakaan harus mempunyai semacam jaringan kepada sumber
lain yang tidak tersedia secara lokal yang disediakan melalui website, koleksi
perpustakaan lain, atau server milik penerbit-penerbit.
Beberapa hal yang cukup serius dihadapi dalam pengembangan ‘digital
library’ adalah sebagai berikut:
1.
Infrastruktur/Arsitektur
Teknis
Hal awal yang dibutuhkan oleh
perpustakaan ketika akan menerapkan sistem ‘digital library’ adalah masalah
peningkatan dan pembaharuan infrastruktur teknis untuk mengakomodasikan
berbagai sumber digital. Infrastruktur itu termasuk didalamnya komponen
seperti:
·
Jaringan lokal berkecepatan
tinggi dan koneksi internet yang memadai
·
Database yang mendukung
bermacam format digital
·
Piranti pencari atau alat telusur
untuk indeks dan akses ke sumber informasi
· Perangkat keras seperti
berbagai macam komputer server (Web Server, FTP Server, Database Server, dan
sebagainya) dan komputer personal untuk pengguna
·
Perangkat lunak termasuk di
dalamnya sistem manajemen dokumen elektronik yang akan membantu keseluruhan
proses manajemen sumber-sumber digital misalnya web portal system,
program ‘electronic database system’ dan lain sebagainya.
2.
Pembangunan Koleksi Digital
Pengembangan dan
pembangunan koleksi digital merupakan sebuah tantangan tersendiri yang harus
dihadapi oleh perpustakaan dan pustakawan. Perpustakaan harus dapat merancang
sebuah kebijakan bagi pembangunan koleksi digital, apakah akan melakukan proses
digitasi, apakah akan melanggan/membeli informasi digital, atau apakah hanya
akan mengakses ke sumber-sumber eksternal. Perpustakaan juga perlu mengadakan
analisis kebutuhan, analisis koleksi yang dimiliki dan analisis sumber daya
yang dimiliki (termasuk di dalamnya sumber daya manusia). Hal itu penting untuk
mengukur sejauh mana pengembangan koleksi digital dapat dilakukan dan
diterapkan. Karena disisi lain pembangunan koleksi digital ini juga merupakan
proses kontrol lokal terhadap koleksi yang dimiliki dan juga untuk menjawab
kebutuhan akses jangka panjang dan preservasi. Pertimbangan lain adalah dari
sisi koleksi itu sendiri seperti kekuatannya, keunikannya, skala prioritas
kebutuhan komunitas pengguna, dan juga manajemen porsi atau prosentase koleksi.
3. 3. Masalah Hak Cipta / Manajemen Hak Milik
Salah satu tantangan dan
juga kendala yang sering “menghantui’ dalam proses pengembangan sistem ‘digital
library’ adalah masalah hak cipta. Konsep hak cipta yang ada pada karya
berbasis cetak kadang terpangkas begitu saja dalam lingkungan digital karena
‘hilang’nya kontrol penggandaan. Objek digital kurang tetap, mudah digandakan,
dan dapat diakses secara remote oleh banyak pengguna secara bersamaan. Hal ini
tentunya harus diperhatikan dan perlu adanya mekanisme yang memberikan
kesempatan kepada perpustakaan untuk menampilkan informasi tanpa merusak hak
cipta, dan untuk itu diperlukan semacam manajemen hak milik. Cleveland (1998)
menyampaikan beberapa fungsi yang mungkin harus ada dalam manajemen hak milik
seperti; (a) jejak penggunaan, (b) identifikasi dan pemberian hak pengguna, (c)
memberikan status hak cipta dari setiap objek digital, dan pembatasan
penggunaan atau pencantuman biaya di dalamnya, (d) menangani transaksi dengan
pengguna dengan mengijinkan hanya beberapa salinan dapat diakses, atau dengan
mengenakan tarif untuk tiap salinan, atau langsung meminta kepada penerbit.
Melalui beberapa hal tersebut diharapkan masalah hak cipta ini paling tidak
dapat sedikit terkurangi resikonya.
4. 4. Promosi/pemasaran dan aksesibilitas
Masalah lain yang
penting untuk disampaikan disini sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi
oleh perpustakaan dalam rangka penerapan sistem ‘digital library’ adalah
masalah penggunaan dan akses ke dalam ‘digital library’ yang sudah
sedemikian rupa disediakan. Banyak kasus dijumpai bahwa perpustakaan terlena
dengan apa yang sudah dapat disediakan tetapi lupa akan bagaimana pengguna
mengetahui keberadaan fasilitas yang sudah disediakan tersebut. Disini masalah
promosi atau pemasaran menjadi penting. Karena apabila ‘digital library’
yang sudah dibangun dengan susah payah menghabiskan banyak tenaga, waktu dan
biaya tidak diketahui oleh pengguna maka efeknya aksesibilitas terhadap ‘digital
library’ ini akan menjadi sangat kurang dan tidak signifikan dengan biaya
yang dikeluarkan. Artinya nilai ekonomisnya akan hilang. Perpustakaan harus
menyediakan informasi yang cukup kepada pengguna dengan merancang sistem
promosi atau pemasaran yang tepat. Hal ini bisa dilakukan menggunakan berbagai
media informasi yang tersedia seperti brosur, leaflet, website, banner, spanduk,
buku panduan atau bahkan melalui sebuah pelatihan atau program rutin orientasi
bagi pengguna. Semakin gencar dan mudah pengguna mendapatkan informasi mengenai
‘digital library’ ini maka tingkat aksesibilitasnya akan semakin tinggi.
Untuk mengukur tingkat aksesibilitas sebuah ‘digital library’ maka
perpustakaan perlu juga memasang sistem pelacakan (tracing) dan tracking
yang dapat memberikan data tingkat aksesibilitas ‘digital library’ yang
ada.
Daftar Pustaka
Cleveland,
Gary. (1998). Digital Libraries: Definitions, Issues and
Challenges. Occasional Paper 8. Ottawa:
Universal Dataflow and Telecommunications Core Programme, International
Federation of Library Associations and Institutions (IFLA). Tersedia di http://www.ifla.org/udt/op/ diakses
tanggal 5 Januari 2007.
Harter,
Stephen P. (1996). What is a Digital
Library? Definitions, Content, and Issues : a paper presented at KOLISS DL 96:
International Conference on Digital Libraries and Information Services for the
21st Century, September
10-13, 1996. Seoul,
Korea. Tersedia
di http://php.indiana.edu/%7Eharter/korea-paper.htm
Leiner,
Barry M. (1998). The Scope of the Digital
Library: draft prepared for the Dlib Working Group on Library Metrics January 16, 1998.
Revised October 15,1998.
Tersedia di http://www.dlib.org/metrics/public/papers/dig-lib-scope.html
Limb, Peter. (2004). Digital Dilemmas and Solutions. Oxford: Chandos Publishing